Kegiatan

PWI NTB DAN ANTARA MEMBERIKAN ILMU JURNALISTIK KEPADA MAHASISWA 14 KAMPUS

PWI NTB DAN ANTARA MEMBERIKAN ILMU JURNALISTIK KEPADA MAHASISWA 14 KAMPUS
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Nusa Tenggara Barat bersama Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA Biro NTB memberikan pelatihan jurnalistik kepada 105 mahasiswa dari 14 kampus seluruh Pulau Lombok, di Mataram, Sabtu.

Kegiatan pelatihan jurnalistik dan literasi keuangan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB sebagai rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2022 tersebut, menghadirkan dua pemateri, yakni Kepala LKBN ANTARA Biro NTB Riza Fahriza, dan Ketua PWI NTB Nasrudin Zen.

Kepala LKBN ANTARA Biro NTB Riza Fahriza yang memberikan materi tentang jurnalisme digital menjelaskan saat ini media dihadapkan pada era digital yang tidak bisa dibendung oleh siapa pun. Media yang dulunya orientasi cetak dituntut bertransformasi ke digital.

"Dengan banyaknya media digital menjadi tantangan kita semua bagaimana melawan berita bohong (hoaks), kita bisa memanfaatkan teknologi digital yang kita miliki untuk melawan hoaks," katanya.

Menurut dia, mahasiswa perlu memahami dasar jurnalistik dan dunia digital, agar bisa memanfaatkan telepon pintar (smartphone) yang dimiliki untuk membantu melawan berita hoax.

"Mahasiswa harus membaca berita dari media yang sudah jelas, karena di media ada tahapannya, dari wartawan ke redaktur, kemudian ada juga ahli bahasanya. Itu struktur standar media," ujar Riza.

Sementara itu, Ketua PWI NTB Nasrudin Zen mengatakan setiap wartawan harus menjunjung kode etik jurnalistik dalam bekerja agar tidak melanggar dan mampu menjaga independensi.

Di hadapan 105 mahasiswa, ia mengibaratkan kode etik jurnalistik seperti kitab suci bagi wartawan yang juga menjadi pedoman moral, pedoman bekerja bagi jurnalis.

"Salah satu pasalnya wartawan harus bersikap independen, profesional dan beritikad baik. Kalau kita linearkan dengan agama, itu bergantung dengan niat. Wartawan membuat berita bergantung ke niatnya, kalau niatnya buruk maka hasilnya akan buruk," ujarnya.

Ia juga menegaskan jika wartawan tidak mampu menerapkan kode etik jurnalistik dalam bekerja akan mendapatkan sanksi sosial berupa turunnya kepercayaan publik terhadap kerja jurnalistik dan media tempat wartawan bernaung.

"Kode etik jurnalistik memang tidak ada mengatur sanksi pidana, tetapi ada sanksi sosial berupa ketidakpercayaan publik terhadap media dan itu sangat berat," kata Nasrudin.

Dalam kesempatan itu, Supriyanto Khafid, salah seorang wartawan Tempo membagikan pengalamannya sebagai jurnalis di NTB, sejak tahun 1980-an, dan rela melepaskan status pegawai negeri sipil demi menekuni profesi sebagai seorang jurnalis hingga sekarang.

"Menjadi jurnalis, bagi saya penuh dengan tantangan, bahkan saya sempat diungsikan ke Surabaya, Jawa Timur, selama enam bulan gara-gara persoalan berita," ucap pria 71 tahun yang masih aktif menjadi jurnalis hingga sekarang ini.*

Pewarta : Awaludin
Editor : Riza Fahriza
(hendi/sekretariat perusahaan)